Sabtu, 23 April 2011

Kisah Kesetiaan Seorang Istri, Gendong Suami Seumur Hidup !


Seorang istri berjuang membantu suaminya seorang guru yang lumpuh dengan cara menggendong menuju tempat mengajar selama lebih dari 17 tahun Du Chanyun adalah seorang guru di kampung Dakou kota Liushan, tepatnya di pedalaman pegunungan Tuniu. Chanyun adalah tumpuan harapan dari 500 KK yang tersebar di kampung Dakou.

Tahun 1981, setelah lulus SMA, ketika itu usianya 19 tahun, Chanyun memutuskan menjadi seorang guru SD di kampung Dakou. Pria asal kampung Nancao, Provinsi Henan ini adalah seorang guru yang gigih. Selama sepuluh tahun, setiap bulan dia hanya memperoleh gaji guru sebesar 6.5 Yuan Renmibi (sekitar Rp. 7.000).

Suatu hari, di tahun 1990, bencana datang menimpanya. Saat itu adalah musim panas. Hujan badai membasahi ruangan kelas sekolahnya. Biasanya, di liburan musim panas, orang-orang di kampung itu mengumpulkan uang untuk memperbaiki sekolah, Du Chanyun begitu bersemangat bekerja, kehujanan pun tetap kerja memindahkan batu, seluruh badan basah kuyup.

Akhirnya pada suatu hari, dia jatuh sakit, sakit berat karena kehujanan dan capek. Sayangnya, setelah sembuh ia mendapatkan tubuhnya dia sudah tidak mampu dibuat berdiri lagi. Tubuh sisi kirinya tidak dapat digerakkan. Meski begitu, ia khawatir, mengajar akan menjadi sebuah mimpi yang jauh baginya.

Istrinya, Li Zhengjie merasakan isi hati sang suami. Untuk menentramkannya, Li mengatakan, “Kamu jangan kuatir, kamu tidak bisa jalan, sampai panggung pun saya akan menggendongmu,” demikian ujar wanita dari kampung yang buta huruf ini.

Menopang Suami
Tak urung, Li memikul tanggung jawab keluarga. Setiap hari, ia harus menggendong suaminya menjadi seorang guru dari rumah sampai sekolah yang jaraknya 6 mil. Sejak 1 September 1990, jadwal hidup Li seperti ini. Setiap hari mulai pagi-pagi, Li Zhengjie bangun menanak nasi, membangunkan 4 anggota keluarganya dan menyiapkan mereka makanan. Setelah makan, ia harus menggendong suaminya berangkat mengajar.

Di sepanjang jalan, Li meraba, merangkak jatuh bangun sampai tiba di sekolah. Di sekolah, Li menempatkan suaminya di kursi lalu menitip pesan ke beberapa murid yang agak besar lantas bergesa-gesa pulang. Maklum, di rumah masih ada sawah yang menunggunya untuk dikerjakan. Sejak memikul tanggung jawab mengendong suaminya, ada dua hal yang paling dia takuti adalah musim panas dan musim dingin.

Rumah Du Chanyun berada pada Barat Selatan sekolah, walaupun jarak dari rumahnya ke sekolah hanya 3 mil, namun tidak ada jalan lain, selain dari jalan tikus, dengan batu-batuan yang berserakan, ranting-ranting pohon, sungai kecil.

Hampir Terpeleset ke Sungai
Pada suatu hari di musim panas, saat itu, baru saja turun hujan lebat, Li Zhengjie seperti hari biasa menggendong suaminya berangkat. Air sungai saat itu melimpah menutup batu injakkan kakinya. Li Zhengjie sudah hati-hati meraba-raba batu pijakan, namun tidak disangka ia tergelincir. Arus sungai yang deras menghanyutkan mereka sampai 10 meter lebih.

Untung tertahan oleh ranting pohon yang melintang di hulu sungai. Setelah lebih kurang setengah jam, ayahnya yang merasa khawatir akhirnya datang mencari, mereka ditarik, anak dan menantunya baru berhasil diselamatkan. Li lolos dari ancaman maut.

Dalam beberapa tahun ini, Li Zhengjie terus menggendong suaminya. Entah sudah berapa kali ia jatuh bangun. Pernah suaminya jatuh di posisi bawah. Kadang-kadang Li Zhengjie jatuh di posisi bawah. Suatu hari Li Zhengjie punya akal, setiap jatuh dia berusaha duluan menjatuhkan tubuhnya yang kekar menahan batu yang mengganjal. Li Zhengjie telah berjuang membantu suaminya siang dan malam. Ia bekerja keras dan capek. Sang suami, melihat dengan jelas perjuangan istrinya itu. Hati Du Chanyun merasa iba.

Sang Suami Menggugat Cerai
Pada tahun 1993, Du Chanyun memulai rencana buruk agar sang istri meninggalkannya.Ia tak ingin sang istri menderita. Untuk mencapai tujuan ini, dia mengubah karakternya, sengaja ia mencari gara-gara untuk bertengkar. Du Chanyun, mulai memakinya. Tentu saja Li Zhengjie merasa tertekan. Setelah 2 kali ribut besar, mereka sungguh-sungguh akan bercerai.

Di hari perceraian yang ditunggu, Li Zhengjie menggendong suaminya naik sepeda. Ia sangat berhati-hati mendorong suaminya ke kelurahan setempat. Semua orang sangat mengenal sepasang suami-istri yang dikenal akrab ini. Begitu melihat tampang keduanya, semua orang makin gembira.

“Saya tidak pernah melihat wanita menggendong suaminya ke lurah minta cerai, kalian pulang saja,” ujar pihak kelurahan. Setelah keributan minta perceraian tenang kembali, Li Zhengjie hanya mengucapkan sepatah kata pada suaminya.

“Walaupun nanti kamu tidak bisa bangun lagi, saya juga akan menggendong kamu sampai tua.”

Tidak Pernah Sekalipun Bolos Mengajar
Kondisi di sekolah tempat Du Chanyun mengajar sangat parah. Meski demikian, kedua pasang suami istri bisa memberikan pendidikan yang baik buat anak-anak. Di sekolah itu, pendidikan sangat kurang baik. Tidak ada alat musik dan tidak ada poliklinik. Namun Du Guangyun menggunakan daun membuat irama musik buat anak-anak. Li Zhengjie naik ke gunung mencari obat ramuan, pada musim panas dia memasak obat pendingin buat anak-anak, pada musim dingin masak obat anti flu buat anak-anak.

Di bawah bantuan istri, dalam 17 tahun, hari demi hari, tidak terhalangi oleh angin hujan, tidak pernah bolos satu kali pun. Suatu hal yang menggembirakan, data yang terkumpul dari kepala sekolah tentang hasil ujian negeri bulan April, tingkat siswa yang lulus dari sekolah SD tersebut mencapai 100 %. Tahun lalu ketika ujian masuk perguruan tinggi, ada 4 orang siswa yang dulu pernah diajari dia masuk ke perguruan tinggi, tahun ini ada 4 lagi yang lulus masuk masuk spesialis.

Kini, setiap hari raya Imlek, murid-muridnya sengaja pulang ke kampung menjenguk bapak dan ibu gurunya, masalah tersebut menjadi peristiwa yang sangat menggembirakan bagi sepasang suami istri guru ini.

Kisah Muhammad Aditya, Bocah 5 Tahun yang Jadi Perawat Ibunya yang Lumpuh

Ini mirip kisah Sinar di Polewali Mandar, Sulawesi Barat. Muhammad Aditya, bocah 5 tahun asal Kabupaten Nganjuk Jawa Timur harus merawat ibunya yang lumpuh.


Menempati rumah kontrakan di Jl Wilis gang IIA Lingkungan Jarakan Kelurahan Ganung Kidul Kecamatan/Kabupaten Nganjuk, Adit, demikian Muhammad Aditya biasa disapa, menjadi perawat ibunya saat sang ayah menjalankan aktivitas pekerjaan di luar kota. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci dan menjemur pakaian, hingga menyiapkan air mandi untuk sang ibu yang hanya bisa terbaring di kasur, dengan tulus dilakukannya.

"Subhanallah. Kalau Adit tidak melakukan ini, saya tidak tahu bagaimana kehidupan ini bisa saya jalani," kata Sunarti, ibu kandung Adit.

Adit adalah anak satu-satunya yang dimiliki Sunarti dari pernikahannya dengan suami kedua yakni Rudi (45) asal Jombang. Dari pernikahan pertamanya wanita asal Tambak Sawah, Sidoarjo dikaruniai 3 anak laki-laki, yang saat ini sudah tinggal terpisah darinya.

Kisah pilu itu mulai terjadi saat Adit berusia setahun, tanpa sebab yang pasti mendadak Sunarti tak lagi bisa menggunakan kakinya untuk berjalan. Bahkan organ tubuh dari pinggang ke bawah saat ini sudah tak lagi berfungsi.

Sunarti membantah dugaan kelumpuhannya akibat mall praktek penanganan kelahiran Adit. Meski mengalami pendarahan dalam proses kelahiran Adit, Sunarti tak menganggapnya sebagai penyebab kelumpuhan. "Sampai Adit usia setahun, saya masih sehat wal afiat. Tapi setelah itu mendadak saya gak bisa apa-apa, sampai sekarang," ujarnya.

Saat ini Sunarti sepenuhnya menggantungkan hidupnya kepada Adit, meski dengan segala keterbatasan yang ada. Rudi, suaminya saat ini hanya pulang seminggu hingga dua minggu sekali untuk mengantarkan uang hasil bekerja, selebihnya banting tulang di luar rumah.

"Saya tidak pernah menyuruh dan tidak pernah memintanya melakukan. Seperti menyalakan lampu, saya hanya bilang kalau menggunakan kursi nanti bisa jatuh, gunakan saja sapu untuk menekan saklar, dan dia bisa melakukannya sendiri," beber Sunarti mengenai apa yang dilakukan anaknya.

Sementara Adit, mengaku sama sekali tidak mengeluh. Meski tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ibunya, Adit mengaku melakukan semua pekerjaan itu karena rasa sayangnya kepada sang ibu. "Kasihan ibu atit (sakit)," kata Adit lirih, saat ditanya mengenai kelumpuhan ibunya.

Bocah berambut ikal itu mengaku mengenal semua pekerjaan rumah yang tak semestinya sudah dilakukan. Mulai belajar kepada sang ayah saat pekerjaan yang sama dilakukan. Seperti mencuci pakaian, dia melakukan dengan merendam terlebih dahulu menggunakan sabun, menguceknya pelan, memeras dan menjemur pakaian yang didesain sedemikian rupa, sehingga terjangkau tubuhnya yang kecil.

"Masak nasi ibu yang belsihkan belasnya. Nanti dimasukkan dandang. Kalau gas habis, saya beli, minta dipasang tabungnya. (Masak nasi ibu yang bersihkan berasnya. Nanti dimasukkan dandang (tempat menanak nasi). Kalau gas habis , saya beli, minta dipasangkan (sekalian) tabungnya)," urai bocah berkulit gelap tersebut.

Dengan segala kesibukannya meladeni sang ibu, Adit tetaplah seorang bocah yang menginginkan kesenangan bermain dengan teman seusianya. Jika rasa itu datang dia langsung meminta izin ke ibunya, namun tak lupa pulang jika pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya sudah harus dilakukan.